Kubus Dalam Rotan
Kata
Ibu, tak ada yang jamin setelah selesai hujan nantinya akan datang pelangi. Aku
juga melihatnya demikian. Aku sering melihat hujan, tapi setelahnya tak selalu
ada pelangi. Apa hidup juga demikian? Tak ada yang menjamin dengan apa kau bisa
menjadi sukses. Kata Mbak, pintar saja tidak cukup. Semua orang pun tahu, si
pintar akan dikalahkan oleh si cerdas dan si cerdas akan dikalahkan oleh si
beruntung.
Aku
melamum mengingat apa yang Ibu dan Mbak katakan. Aku ingat betul saat itu sedang
hujan besar ditambah kilatan petir. Obrolan hujan membawa kami ke obrolan
perihal masa depan. Ibu mengingatkan pekerjaan Bapak yang bekerja sebagai buruh
rotan. Bapak sering membawa bekas rotan yang tidak dipakai dari pabrik.
Lamunanku dihadapkan dengan si tumpukan rotan yang menggunung di sudut rumah.
Rumahku memang penuh dengan rotan yang belum diolah. Entah untuk apa Bapak bawa
itu semua ke rumah. Selain membuat rumah menjadi kotor, rumah pun seakan berantakan.
“Bus,
dari pada melamun lebih baik bantu Ibu di belakang” ujar Mbak Ririt.
“Mbak,
rasanya tidak enak ya berdiam begini terus. Aku bosan” celetuk Kubus. “Aku akan
memutuskan untuk mengikuti program beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke luar
negeri” datar Kubus.
Mbak
Ririt mengernyitkan dahinya dan duduk di sampingku. Ia menatapku dalam-dalam
dan menghela nafas panjang.
“Apa
jadinya kalau Ibu sampai tahu? Ibu sudah bersyukur kamu selesai SMA, Bus. Lalu
kau malah mau melanjutkan sekolahmu. Bahkan hingga ke luar negeri. Apa kau sudi
membuat Bapak kesulitan?”
“Justru
karna aku mencintai mereka, aku harus melakukan ini Mbak. Mbak, tak perlu
bilang pada Ibu atau Bapak. Biar aku yang urus ini ya, Mbak” Kubus bangkit dan
berlari ke dapur untuk membantu Ibu.
Hanya
ada satu ponsel di rumah. Ponsel itu milik Mbak Ririt. Mbak Ririt bekerja di
salah satu kedai kopi asal Amerika. Mbak Ririt bisa bekerja di sana karna
kemampuan bahasa asingnya. Aku salut dengan usahanya, sejak dulu ia rajin
menghafal kata-kata asing, saat teman yang lainnya sibuk les kesana-kemari, ia
memutuskan untuk belajar sendiri dengan fasilitas yang ada di sekolahnya.
Kemampuan bahasa asingnya itu yang membuat ia bisa bekerja di sana dan sering
sekali memandu turis asing yang datang ke Cirebon.
Malamnya
saat Ibu dan Mbak Ririt sudah terlelap, aku menunggu Bapak pulang. Bapak pulang
membawa satu keresek hitam berisi dua nasi goreng dan diapitnya gulungan rotan
seperti biasa. Aku duduk berhadapan dengan Bapak, menikmati nasi goreng yang
rencana awalnya akan dijadikan menu makan malam hari ini. Alhasil, aku dan
Bapak makan satu bungkus nasi goreng saja. Sisanya dijadikan untuk sarapan,
lagi pula Ibu dan Mbak kan sudah tidur.
“Pak,
Bapak bekerja untuk apa?” tanyaku pada Bapak. Bapak diam sebentar dan menatapku
dengan pandangan teduh.
“Kamu
mau Bapak jawab dengan jujur?”
“Memangnya
Bapak mau berbohong? Memangnya Bapak tak takut Tuhan marah kalau Bapak bohong?”
godaku.
“Bus.
Hidup itu mudah bagi mereka yang mau berusaha. Bapak sedang berusaha untuk
kalian. Usaha Bapak ini kebetulan menghasilkan uang. Kau lihat orang di dalam
tv itu?” tunjuk Bapak pada seorang pria di layar tv yang baru keluar dari mobil
sedan hitam yang mewah. “Tidak peduli seperti apa orang memandangnya atau orang
lain bilang dia itu jahat, bagi Bapak, dia adalah orang yang sukses. Dulunya,
pasti dia berusaha!” jelas Bapak dengan nada yang tenang dan pandangan yang
meneduhkan. “Berusaha. Kalau berusahamu bisa mendapatkan uang, anggap saja itu
hanya kebetulan”
Aku
mengangguk dan kembali melanjutkan melahap nasi goreng yang dibawa Bapak.
Setelah itu aku segera masuk kamar dan tidur di samping Mbak Ririt. Aku tidur
terlentang. Dalam mata yang terpejam aku membayangkan diriku berada di dalam
pesawat dan terbang ke negara adidaya, Amerika Serikat.
Keesokan
paginya, aku menatap tumpukan rotan seperti biasa. Berpangku tangan dan
mengernyitkan dahi seolah sedang berpikir keras. Aku tak bisa membiarkan benda
itu di sana selamanya. Tadi pagi saat Ibu memintaku membeli kunyit ke warung Bu
Sari, aku sempat melihat koran hari ini. Rupiah dalam keadaan melemah dan
generasi muda seperti aku tidak bisa tinggal diam. Koran itu mengatakan bahwa
kita bisa membuka wirausaha yang tidak perlu besar-besaran, cukup dengan usaha
kecil yang nantinya bisa menggerakan aktivitas ekonomi dengan memproduksi
barang-barang lokal.
Rotan.
Aku mencari ponsel Mbak Ririt dan mencari referensi kerajinan rotan. Banyak
bermunculan kreasi yang lumayan sulit dan dari gambarnya saja sudah terlihat
kisaran harga yang tidak sedikit. Pantas saja bos rotan di pabrik tempat Bapak
bekerja rumahnya besar sekali, ditambah mobil mewah yang berjajar begitu rapi.
Aku mulai merancang beberapa
kerajinan kecil, gelang dan tempat pinsil. Aku membawa kerajinan itu ke taman
kanak-kanak dekat lingkungan rumahku. Tak kusangka, baru aku pajang sebentar,
mereka sudah menghapiri daganganku. Kujual dengan harga 3.000 rupiah. Aku
pulang dengan uang 90.000 di kantong. Tiga puluh kerajinan terjual habis hari
ini. Besoknya aku melakukan hal yang sama, bangun pagi dan membuat kerajinan
dari rotan dan menjualnya.
***
Satu
bulan sudah aku berjualan tanpa Ibu dan Bapak ketahui. Mbak Ririt adalah
satu-satunya orang yang mengetahui kegiatanku yang satu itu. Aku terus
melakukan inovasi, sudah ada beragam kerajinan yang aku buat dari rotan. Mbak
Ririt bahkan sampai tak percaya tangan laki-laki sepertiku bisa menganyam rotan
dengan rapi.
Aku
mulai berjualan di depan halaman TK seperti biasa. Aku tak habis pikir jika
pedagang lain menyimpan kecemburuan padaku. Saat itu juga aku tak diberi izin
untuk berdagang di sana. Aku mengemasi seluruh dagangan yang sudah aku tata dan
kembali pulang. Aku bingung, menyerah, sedih dan kesal. Mengapa dunia harus
secemburu itu? Toh Tuhan sudah mengatur rezeki setiap orang bukan? Aku merasa
segala pintu kesempatan telah tertutup. Aku harus mengubur harapan melanjutkan
kuliah. Ladang pekerjaanku telah dibakar oleh rasa cemburu pedagang-pedagang
lain.
Seminggu
ini aku lebih banyak diam dan tak berani melakukan pengecekan terhadap
tabunganku. Hingga Mbak Ririt memintaku berjualan secara online. Kata Mbak Ririt, sekarang peminat online shopping sedang marak. Ia juga bilang aku harus mencoba
memasarkan produkku ini pada seluruh orang Indonesia. Akhirnya Mbak Ririt
membantuku membuat sebuah akun instagram.
Meskipun
cenderung lebih merepotkan, aku geluti kegiatanku yang satu itu. Mbak Ririt
berangkat kerja tanpa membawa ponselnya, ia mempercayakan aku untuk menjaga dan
menggunakannya. Aku tahu pasti ponsel ini penting baginya. Seharian waktuku
dihabiskan di dalam kamar, mengotak-atik gambar. Sulit sekali memancing
pengguna instagram untuk melihat akun instagram milikku itu.
Sudah
seminggu tak ada tanggapan yang berarti. Hanya ada akun-akun asing yang
memberikan komentar dan like. Aku
kembali terjatuh, bersedih dan putus asa. Mbak Ririt ikut dibuat repot dengan
tingkahku. Sebulan lebih aku tak mendapatkan pemasukan apapun dan rotan itu
semakin menggunung seperti sediakala.
“Bus,
meskipun namamu Kubus, jangan biarkan kubus itu membendung mimpimu. Kau bilang,
kau harus lakukan ini karna kau mencintai kami, apa cintamu berakhir sampai di
sini saja?” ujar Mbak Ririt.
Aku
yang semula enggan memegang ponsel Mbak Ririt akhirnya mengoprasikan daganganku
di dunia maya kembali. Selain itu, aku pun berkeliling kampung menjual
daganganku. Kalau aku tak bisa berjualan disatu tempat, mengapa tak dibanyak
tempat saja? Tuhan mungkin ingin melihat aku berusaha lebih banyak.
***
Bulan
kelima sudah aku lewati bersama rotan-rotan kesayanganku. Aku memberanikan diri
melakukan pengecekan terhadap tabungan penjualan. Aku tak menyangka hasilnya
akan seperti ini. Ibu benar, tak ada yang bisa menjamin dimana kita akan
menjadi sukses. Baru lima bulan berjualan secara online, pengikut instagramku telah memasuki angka 5.000.
Aku
tak bisa sembunyikan ini dari Ibu dan Bapak. Saat makan malam, dengan dua
bungkus nasi goreng yang dimakan untuk aku, Mbak Ririt, Ibu dan Bapak, aku
mulai mencoba menceritakan apa yang aku lakukan beberapa bulan ini. Ibu hanya
senyum, Bapak pun demikian. Ternyata Mbak Ririt sudah ceritakan masalah ini
pada Ibu dan Bapak.
“Menurut
kalian bagaimana?” tanyaku antusias.
“Ya,
Kubus jalanin dulu saja. Sekarang kan Kubus sudah punya cukup uang, sudah bisa
memenuhi apa yang Kubus inginkan, kan? Tapi, saat Kubus kuliah nanti, Kubus tak
mungkin berjualan di sana dan Bapak mungkin tak bisa melanjutkan kegiatan Kubus
ini” jawab Bapak tak seantusias Kubus.
Aku
tidak bisa menyalahkan pandangan Bapak. Kalau aku tetap di sini, aku bisa
melanjutkan daganganku dan medapatkan keuntungan lagi dan lagi. Tapi, kalau aku
kuliah nanti… Ah, sudahlah. Aku tak bisa berpikir jernih, aku butuh tidur.
Mengistirahatkan ragaku sebentar.
Paginya
aku kembali melakukan pengecekan dana. Dana yang ada sekarang cukup untuk
membeli formulir pendaftaran. Aku belum memutuskan untuk menggunakan uang yang
aku miliki sekarang untuk formulir itu. Aku kembali menggenggam ponsel Mbak
Ririt dan melihat daganganku. Tertera komentar atas nama Aku_Pelita, di kolom
pesan tertulis ia ingin memesan 300 gelang rotan yang dianyam untuk kegiatan
bersama anak-anak difabel. Tanganku gemetar, aku seperti berada di dalam mimpi.
Aku mencoba menghubungi Ibu Pelita dan mencari kegiatan yang disebutkan oleh
Ibu Pelita, siapa tahu ini hanya penipuan. Kegiatan itu memang benar adanya.
Ibu Pelita langsung menghubungiku. Aku tak bisa menolak, kepalaku seakan ringan
untuk mengangguk.
Hanya
aku yang bisa menganyam. Aku sudah ajarkan Ibu dan Mbak Ririt, meskipun bisa,
hasilnya tak serapi anyaman buatanku. Aku kerja pagi dan malam untuk menyelesaikan
pesanan terbesarku itu.
Dalam
waktu seminggu aku sudah menyelesaikan pesanan Ibu Pelita. Ada hal yang membuat
rasa lelahku menghilang, yaitu suatu keadaan dimana seluruh anak-anak difabel
terlihat bahagia mengenakan gelang yang aku anyam. Hari itu adalah hari dimana
aku menggenggam uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Aku berkali-kali
mengucapkan terimakasih pada Ibu Pelita.
Malamnya
Bapak ingin bicara denganku, katanya serius. Aku sudah tahu akan kemana arah
pembicaraan Bapak nanti malam. Aku pun sudah mempersiapkan jawaban atas
pertanyaannya nanti.
“Bus,
selamat ya. Sekarang Kubus uangnya banyak, Kubus bisa teraktir kita nasi
goreng. Bahkan setiap orang dapat satu nasi goreng” senyum Bapak yang terlihat
lirih.
“Bapak,
aku begitu mencintai Bapak, Ibu dan Mbak Ririt. Aku tahu keputusan melanjutkan
kuliah tidaklah mudah bagi keluarga kita, banyak sekali perhitungannya. Karna
kuliah bukan hanya untuk besok, tapi juga untuk beberapa tahun ke depan. Tak
apa Pak, aku akan tetap di sini dan melanjutkan daganganku” jawabku dengan
senyum yang tertuju ke arah Bapak.
Ada
yang menyakitkan saat aku mengatakan hal itu pada Bapak. Seolah setengah dari
hatiku masih tak rela, seolah setengah dari dalam diriku ingin pergi. Apakah
keputusanku sudah tepat? Sungguh, aku bukan hanya ingin menganyam rotan, tapi
aku ingin mengenyam pendidikan.
Hari
ini aku berniat menjajakan daganganku di salah satu sekolah dasar. Aku perlu
menaiki angkot untuk sampai di sana. Sebelumnya aku sudah membayar pajak untuk
bisa berdagang di sana, pajak keamanan katanya. Aku tak mau repot dan langsung
membayar pajak yang telah disebutkan itu. Di sekolah itu aku bertemu kembali dengan
Ibu Pelita, ia menyapaku dengan ramah. Bahkan ia mengajakku makan bakso. Ia
ingin berbincang denganku katanya.
Ibu
Pelita menanyakan pendidikan yang sudah aku tempuh. Aku ceritakan seluruhnya,
sekolah dan prestasi yang telah aku ukir. Ibu Pelita diam saat aku bercerita,
tak terlihat wajah terkesan atau bosan. Ia hanya mengangguk di setiap kalimat
yang aku beri tekanan.
“Kubus,
kamu mau sekolah lagi?”
“Iya”
singkatku dengan mantap dan yakin.
“Dimana
kamu ingin melanjutkan kuliahmu?”
“Amerika,
Bu” jawabku dengan tegas. Ibu Pelita memang sedikit menganga mendengar
jawabanku. “Jauh ya Bu? Saya bosan membuat mimpi terlalu dekat. Biar ia
benar-benar menjadi mimpi, maka saya buat mimpi saya menjadi jauh”
“Bus,
Ibu akan bantu membuat mimpi kamu menjadi dekat”
Ibu
Pelita mau membantu mimpiku. Sembari memenuhi persyaratan dan ujian universitas,
Ibu Pelita memintaku untuk bekerja sebagai pengajar relawan di Sekolah Pinggir
Laut yang diperuntukan untuk anak-anak para nelayan. Aku mengangguk. Apapun
akan aku lakukan asal mampu membawaku mengenyam pendidikan lebih baik. Untuk
hal ini, aku tak ceritakan pada siapapun termasuk Mbak Ririt. Biar saja aku
berusaha dalam diam.
***
Setahun
aku habiskan di Sekolah Pinggir Laut. Belum ada tanda-tanda dari Ibu Pelita
untuk membantuku sekolah. Aku sudah lama tidak berdagang dan melihat tumpukan
rotan semakin banyak saja memenuhi rumah. Ibu sempat bertanya, tapi aku hanya
bilang aku capek berjualan. Bapak juga bertanya mengapa aku tak melanjutkan
daganganku. Apalagi Mbak Ririt, ia yang paling bingung atas segala langkah yang
aku ambil. Pak, Bu, Mbak, aku sedang
memperjuangkan cintaku untuk kalian.
Siang itu Ibu Pelita memanggilku ke kantor. Aku
duduk berhadapan dengannya. Hal ini memang biasa terjadi. Setelah proses
belajar mengajar, para pengajar relawan diminta datang ke kantor untuk
melakukan evaluasi.
“Maaf
membuatmu menunggu untuk waktu yang lama” ujar Ibu Pelita sembari menyodorkan
amplop putih kepadaku. “Silakan kamu buka, Bus”
Aku
ikuti instruksi Ibu Pelita untuk membuka si amplop putih itu. Nyawaku seakan
tercabut saat itu juga, nafasku seakan terhenti dan kakiku seakan melayang. Aku
menemukan namaku tertera di dalam surat itu. Kubus. Sebagai salah satu
mahasiswa baru di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat. Tangisku pecah dan
Ibu Pelita langsung memelukku.
Hari
itu juga, waktu itu juga, aku segera pulang dan bertemu Bapak, Ibu dan Mbak
Ririt. Aku kumpulkan mereka di depan ruang tv yang hampir dipenuhi oleh
gunungan rotan.
“Maaf
untuk tidak bicara pada kalian tentang hal ini” kataku perlahan dan mulai
menceritakan seluruh kegiatan yang aku lakukan setahun ini. “Aku tak pernah
bohong masalah cintaku pada kalian, maaf atas bohongnya pernyataanku waktu itu
pada Bapak yang lebih memilih bisnisku itu. Bapak bilang, Bapak berusaha bukan
untuk uang bukan? Bapak berusaha untuk kita. Dan uang hanya kebetulan saja. Aku
pun demikian. Aku berusaha untuk kita, bukan untuk uang. Uang tak bisa
memartabatkan seseorang, tapi pendidikan bisa. Cintaku pada kalian tidak pernah
keliru, pendidikanku nantinya akan lebih dari uang yang kita miliki sekarang”
aku sedikit terisak. Aku harap pernyataanku ini mampu membuat mereka mengerti.
Ibu
langsung duduk di sampingku dan memelukku. Air matanya terasa menetes di atas
kepalaku. Mbak Ririt tak kuasa membendung air matanya. Bapak? Makhluk Tuhan
yang sempurna itu hanya memandangku dari jauh dan memberikan senyumnya yang
meneduhkan seperti biasa. Aku tahu, cinta tak pernah salah.
“Selamat
datang Kubus, pada kenyataan yang dulu sempat kau impikan” kataku dalam hati.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
BalasHapusCerpen yang sangat bagus dan indah. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Hai Terimakasih ^^
BalasHapuswoaaaah haha cerpen nya keren, aku baru liat blog kmu manda ternyata bagus bagus 😍😍😍
BalasHapusMOZAAAAA long time no see!!! trimakasiiii
BalasHapus