Sabtu, 21 November 2015

Kubus Dalam Rotan


Kubus Dalam Rotan
            Kata Ibu, tak ada yang jamin setelah selesai hujan nantinya akan datang pelangi. Aku juga melihatnya demikian. Aku sering melihat hujan, tapi setelahnya tak selalu ada pelangi. Apa hidup juga demikian? Tak ada yang menjamin dengan apa kau bisa menjadi sukses. Kata Mbak, pintar saja tidak cukup. Semua orang pun tahu, si pintar akan dikalahkan oleh si cerdas dan si cerdas akan dikalahkan oleh si beruntung.
            Aku melamum mengingat apa yang Ibu dan Mbak katakan. Aku ingat betul saat itu sedang hujan besar ditambah kilatan petir. Obrolan hujan membawa kami ke obrolan perihal masa depan. Ibu mengingatkan pekerjaan Bapak yang bekerja sebagai buruh rotan. Bapak sering membawa bekas rotan yang tidak dipakai dari pabrik. Lamunanku dihadapkan dengan si tumpukan rotan yang menggunung di sudut rumah. Rumahku memang penuh dengan rotan yang belum diolah. Entah untuk apa Bapak bawa itu semua ke rumah. Selain membuat rumah menjadi kotor, rumah pun seakan berantakan.
            “Bus, dari pada melamun lebih baik bantu Ibu di belakang” ujar Mbak Ririt.
            “Mbak, rasanya tidak enak ya berdiam begini terus. Aku bosan” celetuk Kubus. “Aku akan memutuskan untuk mengikuti program beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri” datar Kubus.
            Mbak Ririt mengernyitkan dahinya dan duduk di sampingku. Ia menatapku dalam-dalam dan menghela nafas panjang.
            “Apa jadinya kalau Ibu sampai tahu? Ibu sudah bersyukur kamu selesai SMA, Bus. Lalu kau malah mau melanjutkan sekolahmu. Bahkan hingga ke luar negeri. Apa kau sudi membuat Bapak kesulitan?”
            “Justru karna aku mencintai mereka, aku harus melakukan ini Mbak. Mbak, tak perlu bilang pada Ibu atau Bapak. Biar aku yang urus ini ya, Mbak” Kubus bangkit dan berlari ke dapur untuk membantu Ibu.
            Hanya ada satu ponsel di rumah. Ponsel itu milik Mbak Ririt. Mbak Ririt bekerja di salah satu kedai kopi asal Amerika. Mbak Ririt bisa bekerja di sana karna kemampuan bahasa asingnya. Aku salut dengan usahanya, sejak dulu ia rajin menghafal kata-kata asing, saat teman yang lainnya sibuk les kesana-kemari, ia memutuskan untuk belajar sendiri dengan fasilitas yang ada di sekolahnya. Kemampuan bahasa asingnya itu yang membuat ia bisa bekerja di sana dan sering sekali memandu turis asing yang datang ke Cirebon.
            Malamnya saat Ibu dan Mbak Ririt sudah terlelap, aku menunggu Bapak pulang. Bapak pulang membawa satu keresek hitam berisi dua nasi goreng dan diapitnya gulungan rotan seperti biasa. Aku duduk berhadapan dengan Bapak, menikmati nasi goreng yang rencana awalnya akan dijadikan menu makan malam hari ini. Alhasil, aku dan Bapak makan satu bungkus nasi goreng saja. Sisanya dijadikan untuk sarapan, lagi pula Ibu dan Mbak kan sudah tidur.
            “Pak, Bapak bekerja untuk apa?” tanyaku pada Bapak. Bapak diam sebentar dan menatapku dengan pandangan teduh.
            “Kamu mau Bapak jawab dengan jujur?”
            “Memangnya Bapak mau berbohong? Memangnya Bapak tak takut Tuhan marah kalau Bapak bohong?” godaku.
            “Bus. Hidup itu mudah bagi mereka yang mau berusaha. Bapak sedang berusaha untuk kalian. Usaha Bapak ini kebetulan menghasilkan uang. Kau lihat orang di dalam tv itu?” tunjuk Bapak pada seorang pria di layar tv yang baru keluar dari mobil sedan hitam yang mewah. “Tidak peduli seperti apa orang memandangnya atau orang lain bilang dia itu jahat, bagi Bapak, dia adalah orang yang sukses. Dulunya, pasti dia berusaha!” jelas Bapak dengan nada yang tenang dan pandangan yang meneduhkan. “Berusaha. Kalau berusahamu bisa mendapatkan uang, anggap saja itu hanya kebetulan”
            Aku mengangguk dan kembali melanjutkan melahap nasi goreng yang dibawa Bapak. Setelah itu aku segera masuk kamar dan tidur di samping Mbak Ririt. Aku tidur terlentang. Dalam mata yang terpejam aku membayangkan diriku berada di dalam pesawat dan terbang ke negara adidaya, Amerika Serikat.
            Keesokan paginya, aku menatap tumpukan rotan seperti biasa. Berpangku tangan dan mengernyitkan dahi seolah sedang berpikir keras. Aku tak bisa membiarkan benda itu di sana selamanya. Tadi pagi saat Ibu memintaku membeli kunyit ke warung Bu Sari, aku sempat melihat koran hari ini. Rupiah dalam keadaan melemah dan generasi muda seperti aku tidak bisa tinggal diam. Koran itu mengatakan bahwa kita bisa membuka wirausaha yang tidak perlu besar-besaran, cukup dengan usaha kecil yang nantinya bisa menggerakan aktivitas ekonomi dengan memproduksi barang-barang lokal.
            Rotan. Aku mencari ponsel Mbak Ririt dan mencari referensi kerajinan rotan. Banyak bermunculan kreasi yang lumayan sulit dan dari gambarnya saja sudah terlihat kisaran harga yang tidak sedikit. Pantas saja bos rotan di pabrik tempat Bapak bekerja rumahnya besar sekali, ditambah mobil mewah yang berjajar begitu rapi.
Aku mulai merancang beberapa kerajinan kecil, gelang dan tempat pinsil. Aku membawa kerajinan itu ke taman kanak-kanak dekat lingkungan rumahku. Tak kusangka, baru aku pajang sebentar, mereka sudah menghapiri daganganku. Kujual dengan harga 3.000 rupiah. Aku pulang dengan uang 90.000 di kantong. Tiga puluh kerajinan terjual habis hari ini. Besoknya aku melakukan hal yang sama, bangun pagi dan membuat kerajinan dari rotan dan menjualnya.
            ***
            Satu bulan sudah aku berjualan tanpa Ibu dan Bapak ketahui. Mbak Ririt adalah satu-satunya orang yang mengetahui kegiatanku yang satu itu. Aku terus melakukan inovasi, sudah ada beragam kerajinan yang aku buat dari rotan. Mbak Ririt bahkan sampai tak percaya tangan laki-laki sepertiku bisa menganyam rotan dengan rapi.
            Aku mulai berjualan di depan halaman TK seperti biasa. Aku tak habis pikir jika pedagang lain menyimpan kecemburuan padaku. Saat itu juga aku tak diberi izin untuk berdagang di sana. Aku mengemasi seluruh dagangan yang sudah aku tata dan kembali pulang. Aku bingung, menyerah, sedih dan kesal. Mengapa dunia harus secemburu itu? Toh Tuhan sudah mengatur rezeki setiap orang bukan? Aku merasa segala pintu kesempatan telah tertutup. Aku harus mengubur harapan melanjutkan kuliah. Ladang pekerjaanku telah dibakar oleh rasa cemburu pedagang-pedagang lain.
            Seminggu ini aku lebih banyak diam dan tak berani melakukan pengecekan terhadap tabunganku. Hingga Mbak Ririt memintaku berjualan secara online. Kata Mbak Ririt, sekarang peminat online shopping sedang marak. Ia juga bilang aku harus mencoba memasarkan produkku ini pada seluruh orang Indonesia. Akhirnya Mbak Ririt membantuku membuat sebuah akun instagram.
            Meskipun cenderung lebih merepotkan, aku geluti kegiatanku yang satu itu. Mbak Ririt berangkat kerja tanpa membawa ponselnya, ia mempercayakan aku untuk menjaga dan menggunakannya. Aku tahu pasti ponsel ini penting baginya. Seharian waktuku dihabiskan di dalam kamar, mengotak-atik gambar. Sulit sekali memancing pengguna instagram untuk melihat akun instagram milikku itu.
            Sudah seminggu tak ada tanggapan yang berarti. Hanya ada akun-akun asing yang memberikan komentar dan like. Aku kembali terjatuh, bersedih dan putus asa. Mbak Ririt ikut dibuat repot dengan tingkahku. Sebulan lebih aku tak mendapatkan pemasukan apapun dan rotan itu semakin menggunung seperti sediakala.
            “Bus, meskipun namamu Kubus, jangan biarkan kubus itu membendung mimpimu. Kau bilang, kau harus lakukan ini karna kau mencintai kami, apa cintamu berakhir sampai di sini saja?” ujar Mbak Ririt.
            Aku yang semula enggan memegang ponsel Mbak Ririt akhirnya mengoprasikan daganganku di dunia maya kembali. Selain itu, aku pun berkeliling kampung menjual daganganku. Kalau aku tak bisa berjualan disatu tempat, mengapa tak dibanyak tempat saja? Tuhan mungkin ingin melihat aku berusaha lebih banyak.
            ***
            Bulan kelima sudah aku lewati bersama rotan-rotan kesayanganku. Aku memberanikan diri melakukan pengecekan terhadap tabungan penjualan. Aku tak menyangka hasilnya akan seperti ini. Ibu benar, tak ada yang bisa menjamin dimana kita akan menjadi sukses. Baru lima bulan berjualan secara online, pengikut instagramku telah memasuki angka 5.000.
            Aku tak bisa sembunyikan ini dari Ibu dan Bapak. Saat makan malam, dengan dua bungkus nasi goreng yang dimakan untuk aku, Mbak Ririt, Ibu dan Bapak, aku mulai mencoba menceritakan apa yang aku lakukan beberapa bulan ini. Ibu hanya senyum, Bapak pun demikian. Ternyata Mbak Ririt sudah ceritakan masalah ini pada Ibu dan Bapak.
            “Menurut kalian bagaimana?” tanyaku antusias.
            “Ya, Kubus jalanin dulu saja. Sekarang kan Kubus sudah punya cukup uang, sudah bisa memenuhi apa yang Kubus inginkan, kan? Tapi, saat Kubus kuliah nanti, Kubus tak mungkin berjualan di sana dan Bapak mungkin tak bisa melanjutkan kegiatan Kubus ini” jawab Bapak tak seantusias Kubus.
            Aku tidak bisa menyalahkan pandangan Bapak. Kalau aku tetap di sini, aku bisa melanjutkan daganganku dan medapatkan keuntungan lagi dan lagi. Tapi, kalau aku kuliah nanti… Ah, sudahlah. Aku tak bisa berpikir jernih, aku butuh tidur. Mengistirahatkan ragaku sebentar.
            Paginya aku kembali melakukan pengecekan dana. Dana yang ada sekarang cukup untuk membeli formulir pendaftaran. Aku belum memutuskan untuk menggunakan uang yang aku miliki sekarang untuk formulir itu. Aku kembali menggenggam ponsel Mbak Ririt dan melihat daganganku. Tertera komentar atas nama Aku_Pelita, di kolom pesan tertulis ia ingin memesan 300 gelang rotan yang dianyam untuk kegiatan bersama anak-anak difabel. Tanganku gemetar, aku seperti berada di dalam mimpi. Aku mencoba menghubungi Ibu Pelita dan mencari kegiatan yang disebutkan oleh Ibu Pelita, siapa tahu ini hanya penipuan. Kegiatan itu memang benar adanya. Ibu Pelita langsung menghubungiku. Aku tak bisa menolak, kepalaku seakan ringan untuk mengangguk.
            Hanya aku yang bisa menganyam. Aku sudah ajarkan Ibu dan Mbak Ririt, meskipun bisa, hasilnya tak serapi anyaman buatanku. Aku kerja pagi dan malam untuk menyelesaikan pesanan terbesarku itu.
            Dalam waktu seminggu aku sudah menyelesaikan pesanan Ibu Pelita. Ada hal yang membuat rasa lelahku menghilang, yaitu suatu keadaan dimana seluruh anak-anak difabel terlihat bahagia mengenakan gelang yang aku anyam. Hari itu adalah hari dimana aku menggenggam uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Aku berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Ibu Pelita.
            Malamnya Bapak ingin bicara denganku, katanya serius. Aku sudah tahu akan kemana arah pembicaraan Bapak nanti malam. Aku pun sudah mempersiapkan jawaban atas pertanyaannya nanti.
            “Bus, selamat ya. Sekarang Kubus uangnya banyak, Kubus bisa teraktir kita nasi goreng. Bahkan setiap orang dapat satu nasi goreng” senyum Bapak yang terlihat lirih.
            “Bapak, aku begitu mencintai Bapak, Ibu dan Mbak Ririt. Aku tahu keputusan melanjutkan kuliah tidaklah mudah bagi keluarga kita, banyak sekali perhitungannya. Karna kuliah bukan hanya untuk besok, tapi juga untuk beberapa tahun ke depan. Tak apa Pak, aku akan tetap di sini dan melanjutkan daganganku” jawabku dengan senyum yang tertuju ke arah Bapak.
            Ada yang menyakitkan saat aku mengatakan hal itu pada Bapak. Seolah setengah dari hatiku masih tak rela, seolah setengah dari dalam diriku ingin pergi. Apakah keputusanku sudah tepat? Sungguh, aku bukan hanya ingin menganyam rotan, tapi aku ingin mengenyam pendidikan.
            Hari ini aku berniat menjajakan daganganku di salah satu sekolah dasar. Aku perlu menaiki angkot untuk sampai di sana. Sebelumnya aku sudah membayar pajak untuk bisa berdagang di sana, pajak keamanan katanya. Aku tak mau repot dan langsung membayar pajak yang telah disebutkan itu. Di sekolah itu aku bertemu kembali dengan Ibu Pelita, ia menyapaku dengan ramah. Bahkan ia mengajakku makan bakso. Ia ingin berbincang denganku katanya.
            Ibu Pelita menanyakan pendidikan yang sudah aku tempuh. Aku ceritakan seluruhnya, sekolah dan prestasi yang telah aku ukir. Ibu Pelita diam saat aku bercerita, tak terlihat wajah terkesan atau bosan. Ia hanya mengangguk di setiap kalimat yang aku beri tekanan.
            “Kubus, kamu mau sekolah lagi?”
            “Iya” singkatku dengan mantap dan yakin.
            “Dimana kamu ingin melanjutkan kuliahmu?”
            “Amerika, Bu” jawabku dengan tegas. Ibu Pelita memang sedikit menganga mendengar jawabanku. “Jauh ya Bu? Saya bosan membuat mimpi terlalu dekat. Biar ia benar-benar menjadi mimpi, maka saya buat mimpi saya menjadi jauh”
            “Bus, Ibu akan bantu membuat mimpi kamu menjadi dekat”
            Ibu Pelita mau membantu mimpiku. Sembari memenuhi persyaratan dan ujian universitas, Ibu Pelita memintaku untuk bekerja sebagai pengajar relawan di Sekolah Pinggir Laut yang diperuntukan untuk anak-anak para nelayan. Aku mengangguk. Apapun akan aku lakukan asal mampu membawaku mengenyam pendidikan lebih baik. Untuk hal ini, aku tak ceritakan pada siapapun termasuk Mbak Ririt. Biar saja aku berusaha dalam diam.
            ***
            Setahun aku habiskan di Sekolah Pinggir Laut. Belum ada tanda-tanda dari Ibu Pelita untuk membantuku sekolah. Aku sudah lama tidak berdagang dan melihat tumpukan rotan semakin banyak saja memenuhi rumah. Ibu sempat bertanya, tapi aku hanya bilang aku capek berjualan. Bapak juga bertanya mengapa aku tak melanjutkan daganganku. Apalagi Mbak Ririt, ia yang paling bingung atas segala langkah yang aku ambil. Pak, Bu, Mbak, aku sedang memperjuangkan cintaku untuk kalian.
            Siang itu Ibu Pelita memanggilku ke kantor. Aku duduk berhadapan dengannya. Hal ini memang biasa terjadi. Setelah proses belajar mengajar, para pengajar relawan diminta datang ke kantor untuk melakukan evaluasi.
            “Maaf membuatmu menunggu untuk waktu yang lama” ujar Ibu Pelita sembari menyodorkan amplop putih kepadaku. “Silakan kamu buka, Bus”
            Aku ikuti instruksi Ibu Pelita untuk membuka si amplop putih itu. Nyawaku seakan tercabut saat itu juga, nafasku seakan terhenti dan kakiku seakan melayang. Aku menemukan namaku tertera di dalam surat itu. Kubus. Sebagai salah satu mahasiswa baru di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat. Tangisku pecah dan Ibu Pelita langsung memelukku.
            Hari itu juga, waktu itu juga, aku segera pulang dan bertemu Bapak, Ibu dan Mbak Ririt. Aku kumpulkan mereka di depan ruang tv yang hampir dipenuhi oleh gunungan rotan.
            “Maaf untuk tidak bicara pada kalian tentang hal ini” kataku perlahan dan mulai menceritakan seluruh kegiatan yang aku lakukan setahun ini. “Aku tak pernah bohong masalah cintaku pada kalian, maaf atas bohongnya pernyataanku waktu itu pada Bapak yang lebih memilih bisnisku itu. Bapak bilang, Bapak berusaha bukan untuk uang bukan? Bapak berusaha untuk kita. Dan uang hanya kebetulan saja. Aku pun demikian. Aku berusaha untuk kita, bukan untuk uang. Uang tak bisa memartabatkan seseorang, tapi pendidikan bisa. Cintaku pada kalian tidak pernah keliru, pendidikanku nantinya akan lebih dari uang yang kita miliki sekarang” aku sedikit terisak. Aku harap pernyataanku ini mampu membuat mereka mengerti.
            Ibu langsung duduk di sampingku dan memelukku. Air matanya terasa menetes di atas kepalaku. Mbak Ririt tak kuasa membendung air matanya. Bapak? Makhluk Tuhan yang sempurna itu hanya memandangku dari jauh dan memberikan senyumnya yang meneduhkan seperti biasa. Aku tahu, cinta tak pernah salah.
            “Selamat datang Kubus, pada kenyataan yang dulu sempat kau impikan” kataku dalam hati.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com


4 komentar:

  1. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
    Cerpen yang sangat bagus dan indah. :)
    ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬

    BalasHapus
  2. woaaaah haha cerpen nya keren, aku baru liat blog kmu manda ternyata bagus bagus 😍😍😍

    BalasHapus
  3. MOZAAAAA long time no see!!! trimakasiiii

    BalasHapus