Kamis, 29 Desember 2016

Jauh

Aku sudah bilang Tuhan,
Ini bukan perihal jauh atau tak bisa dijangkau
Ini hanya tentang sekuat apa doaku bisa membawamu di sampingku

          Aku senang, hari ini Jauh menyempatkan waktu berkunjung. Memang sebentar, hanya untuk sekedar mengucap salam, bertanya kabar, apa saja yang aku lakukan seharian lalu pergi begitu saja. Beberapa harinya, Jauh melakukan hal yang sama. Rasanya semesta hanya mengizinkan pergerakan kami sebatas bertanya kabar, keadaan dan juga cuaca. Parahnya, hanya dengan pertanyaan itu, aku tetap membawa Jauh ke dalam doa. Rasanya semakin parah, saat hati mulai bergetar dan sesekali senyum itu tersungging tanpa perintah. Aku mulai merasa kesulitan setelah itu.
           Jika tidak salah perhitungan, aku masih bisa menghabiskan sekitar setengah jam untuk duduk di cafe, mendengarkan lagu dan untuk sebentar menikmati keriuhan siang ini sebelum masuk kelas. Aku sempatkan menikmati teh papermint hangat di cafe dekat kampus. Sebagai cemilan, aku memilih churros.
        Lagu Untitled dimainkan. Saat itu juga aku merasa lagu itu sengaja didedikasikan untukku. Entah mengapa rasanya keputusanku kali ini sedikit agak salah. Jauh berdiri di balik kasir, pandangannya mengudara pada menu yang terpampang di atas tembok. Sekali lagi, hatiku bergetar melihat pria itu. Aku sedikit khawatir, semalam Jauh sempat menghubungiku sebentar setelah tahu ada tugas yang sulit ku kerjakan, beberapa detik kemudian ia langsung menghubungiku dan menanyakan tugas mana yang tak bisa aku kerjakan hingga larut malam. Aku malas berhutang, dan dengan perlakuannya semalam membuatku berhutang banyak.
“Loh, Joy? Di sini juga lo? Gue di sini ya”
Susah payah aku bersembunyi di balik buku, Jauh tetap bisa menangkapku. Bagaimana bisa aku menolak pria ini yang sudah terlanjur duduk bahkan menyeruput americano miliknya.
“Gimana tugasnya aman? Gue takut lo migren gak bisa selesin itu tugas” santai Jauh.
Mungkin yang membuatku migren, bukan setumpukan tugas semalam. Tapi justru kau! “Oh engga kok, yakali tugas begitu bikin gue migren” datarku ditambah tawa yang tak kalah datarnya.
“Lagi ngapain di sini? Gak ada kelas?”
Iya, mataku tak bisa lepas, rasanya untuk pertama kalinya Tuhan menjawab doaku tentang Jauh. Dulu aku sempat bilang pada Tuhan, jika hati Jauh tidak bergetar untukku maka tak perlu bawa Jauh mendekat padaku. Kali ini Tuhan membawa Jauh begitu dekat, setelah sekian lama terjebak di dalam dunia digital, Tuhan membawa Jauh ke depan mataku, hanya berjarak beberapa langkah untuk direngkuh dan untuk tidak dilepaskan.
“Kelas gue sebentar lagi, sambil nunggu kelas makanya gue di sini. Lo gimana?”
“Gue ada kegiatan sama anak-anak ukm, bentar lagi juga pada ke sini”
“Oh...” jawabku seadanya. Sayang waktu berjalan terlalu cepat saat moment seperti ini hitungannya langka bagiku. Aku harus segera ke kampus. “Gue ke kampus duluan deh”
“Yah gimana sih lo, yang nemenin gue ngobrol siapa dong?”
“Nemenin lo ngobrol sampe temen-temen lo dateng? Nanti setelah temen-temen lo dateng, lo gak butuh gue lagi kan?”
Glek.
Aku tak bisa bernafas. Detik di arloji pergelangan tanganku rasanya tak bergerak. Di luar kendali. Jawabanku barusan terlalu berlebihan. Tolong Tuhan putar waktu!!
“Lo, gakpapa kan?” tanya Jauh ragu. Aku bisa melihat raut wajah Jauh yang mendadak berubah kebingungan.
“Eng....ga gakpapa. Sorry sorry, tadi kebawa suasana” jawabku kikuk. Jangan sampai Jauh bisa membaca wajahku yang rasanya ingin segera pergi ke pluto. “Lo jangan lupa makan ya, jangan cuma minum kopi, lo bisa makan churros gue. Masih sisa banyak tuh, lo harus makan ya” tambahku tanpa jeda.
“Belakangan ini lo banyak peduli sama gue, kenapa Joy?” tanya Jauh serius.
Aku diam. Tak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu. Jauh tak bisa menatapku yang berada dekat di depannya. Mungkin, di mata Jauh aku masih terlampau jauh. Iya, Jauh memang jauh.  Aku hanya mematung tak bisa berpikir apalagi menjawab. Lagu itu masih mengalun, tepat di bagian refrain.

Bila memang, ku yang harus mengerti, mengapa cintamu tak dapat ku miliki, salahkah ku bila kau lah yang ada di hatiku?

          “Duh gue harus buru-buru ke kampus, yah telah kan nih gue, ah telat gue telat. Bye, Jauh! Jangan lupa makan!” tanpa menunggu tanggapan dari Jauh aku segera berlari meninggalkan cafe. Setelah beberapa meter menjauh dari cafe barulah nafasku kembali normal. Jauh, mengapa kau begitu sulit?

         Kali ini setelah kelas, aku harus menemui Brieta. Hanya dia satu-satunya teman yang tahu aku dan Jauh belakangan ini menjadi dekat. Kebetulan fakultas Brieta bersebrangan dengan gedung fakultas Jauh. Sesekali Jauh juga sering menggunakan laboratorium di fakultas Brieta.
         “Ta! Gue bingung. Jauh gak pernah paham. Dia biasa aja. Dia tuh aneh” keluhku.
         “Jauh bukan tipe cowok yang suka main-main”
         “Lah, emang ini gue keliatan main-main apa?” kesalku.
         “Kode lu kurang keras” datar Brieta lagi.
       “Mungkin, gue yang salah artiin baiknya Jauh. Mungkin memang Jauh tipe orang yang gak bisa lihat orang di sekitarnya kesusahan”
          “Lo kenal Jauh belum lama. Mungkin lo cuma baru tau satu halaman tentang Jauh”

       Aku menenggelamkan kepalaku di atas kedua tanganku yang terlipat. Jika tau jatuh hati dengan Jauh akan sesulit ini, aku lebih memilih tak pernah bertemu Jauh. Aku cukup mengerti, jika Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang pasti atas suatu alasan. Jauh adalah alasan tersulitku untuk bertahan tapi tetap aku pertahankan.
        Matahari mulai menghilang. Langit hitam mulai menghiasi semesta. Jauh kembali hadir di layar ponselku. Pertanyaannya sama, menanyakan kabar. Padahal baru siang ini kami bertemu dan syukurnya aku terlihat baik-baik saja. Semoga saja Jauh tidak berniat menanyakan pertanyaan terakhirnya yang aku alihkan. Pesan-pesan dari Jauh aku balas seadanya, sebisa mungkin menarik kembali hatiku yang mulai terjerembab di dalam dunia Jauh. Dengan mudah Jauh menebak bahwa kali itu aku sedang tidak ingin diajak bicara. Padahal, satu pesan dari Jauh cukup membuat sendu menjadi tawa. Berbicara dengan seseorang yang tak pernah tahu ujung pembicaraannya akan seperti apa, bukankah selalu menyenangkan?
       Jauh seperti masih ingin memperpanjang obrolan tengah malam kami. Tapi saat itu juga aku katakan pada Jauh aku harus pergi tidur. Tanpa menunggu jawaban lainnya dari Jauh, ponsel itu kumatikan.

       Paginya aku kembali bertemu Brieta. Ia pasti tahu hal apa yang ingin aku bicarakan, karna pasti tak akan jauh-jauh dari Jauh. Aku katakan pada Brieta jika tadi malam Jauh kembali mampir dengan ketidakjelasan yang sama.
        “Stop” ujar Brieta saat bibirku masih bergerak-gerak menceritakan Jauh semalam. “Sekarang gue tau jawaban atas semua cerita lo”
       “Apa?” jawabku tak bersemangat.
       “Joy, lo bahagia ga? Lo gak bisa buat perasaan lo stay sama orang yang gak bisa buat lo bahagia” tegas Brieta. “Lo liat betapa clueless nya Jauh? Sebelum terlalu jauh, just let him go. Because you deserve to be happy, lady”
          “Im happy, Ta” yakinku.
       “Apa definisi happy lo? Menunggu ketidakjelasan itu namanya happy? Kalau gitu, happy lo sebelas duabelas sama bego” ketus Brieta. “Jauh terlalu gak peduli sama seluruh pedulinya lo ke dia. Dia gak bisa ngerasain apa yang lo rasain. Dia merasa biasa, waktu lo ngerasa luar biasa”
          Brieta tak bisa menyaring kata-katanya. Tapi benar.
         “Gue harus apa?”
         “Lo udah tanya ini sama Tuhan. Dan, ini saatnya lo ambil keputusan. But remember, you deserve to be happy. Dont waste your tears. Jangan bawa nama dia yang gak pernah bawa nama lo di dalam doanya”
       Aku diam sebentar. Aku merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Kalau dalam 5 menit Jauh tak menghubungi, rasanya aku harus menuruti apa yang Brieta katakan. Tak ada tanda-tanda pesan dari Jauh. Hatiku berpacu dengan beberapa doa dan harapan, Tuhan tolong.
           “Yes. You need to let him go” putus Brieta. Ia mengambil ponsel yang aku genggam. Aku tak pernah menghapus pesan dari Jauh, bahkan sejak awal mengenal Jauh pun aku tak pernah menghapus pesannya. Tapi kali ini dengan yakinnya Brieta langsung menghapus seluruh pesanku dan Jauh. “You deserve to be happy”
           Brieta menarik pundakku dan membiarkan kepalaku terbenam di dalam pelukannya. Maaf jika aku perlu menangis, rasanya ini akan jadi caraku berpisah dari perasaanku pada Jauh selama ini. Melepaskan memang bukan perkara mudah. Aku tahu ini benar. Apa enaknya rindu sendirian? Ditambah, mengkhawatirkan seseorang yang entah pikirannya pada siapa.
             Brieta benar. I deserve to be happy.
                ----
          Aku berdiri di depan pintu kedatangan internasional. Di genggamanku hanya ada passport dan ponsel. Brieta langung memelukku dengan semangat. Aku sendiri bahkan tak menyangka akan berdiri di sini dengan koper besar dan jaket tebal. Mungkin kali ini Jauh belum menjadi alasanku untuk bahagia. Kali ini tugasku hanya membuat diriku sendiri bahagia. Dengan caraku sendiri. Dengan atau tanpa Jauh yang terlampau menjauh. Perasaan itu sudah kutepikan, karna aku sudah berhasil mengerti kapan seharusnya berhenti.   
Dan kini giliranku yang menjauh dan menghentikan nama itu di dalam doaku.


 Australia, October 2019. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar