Aku sudah bilang Tuhan,
Ini bukan perihal jauh atau tak
bisa dijangkau
Ini hanya tentang sekuat apa
doaku bisa membawamu di sampingku
Aku
senang, hari ini Jauh menyempatkan waktu berkunjung. Memang sebentar, hanya
untuk sekedar mengucap salam, bertanya kabar, apa saja yang aku lakukan
seharian lalu pergi begitu saja. Beberapa harinya, Jauh melakukan hal yang
sama. Rasanya semesta hanya mengizinkan pergerakan kami sebatas bertanya kabar,
keadaan dan juga cuaca. Parahnya, hanya dengan pertanyaan itu, aku tetap
membawa Jauh ke dalam doa. Rasanya semakin parah, saat hati mulai bergetar dan
sesekali senyum itu tersungging tanpa perintah. Aku mulai merasa kesulitan
setelah itu.
Jika
tidak salah perhitungan, aku masih bisa menghabiskan sekitar setengah jam untuk
duduk di cafe, mendengarkan lagu dan untuk sebentar menikmati keriuhan siang
ini sebelum masuk kelas. Aku sempatkan menikmati teh papermint hangat di cafe
dekat kampus. Sebagai cemilan, aku memilih churros.
Lagu
Untitled dimainkan. Saat itu juga aku merasa lagu itu sengaja didedikasikan
untukku. Entah mengapa rasanya keputusanku kali ini sedikit agak salah. Jauh berdiri
di balik kasir, pandangannya mengudara pada menu yang terpampang di atas tembok.
Sekali lagi, hatiku bergetar melihat pria itu. Aku sedikit khawatir, semalam
Jauh sempat menghubungiku sebentar setelah tahu ada tugas yang sulit ku
kerjakan, beberapa detik kemudian ia langsung menghubungiku dan menanyakan
tugas mana yang tak bisa aku kerjakan hingga larut malam. Aku malas berhutang,
dan dengan perlakuannya semalam membuatku berhutang banyak.
“Loh, Joy? Di sini
juga lo? Gue di sini ya”
Susah payah
aku bersembunyi di balik buku, Jauh tetap bisa menangkapku. Bagaimana bisa aku
menolak pria ini yang sudah terlanjur duduk bahkan menyeruput
americano miliknya.
“Gimana
tugasnya aman? Gue takut lo migren gak bisa selesin itu tugas” santai Jauh.
Mungkin yang membuatku migren, bukan
setumpukan tugas semalam. Tapi justru kau! “Oh engga kok, yakali tugas
begitu bikin gue migren” datarku ditambah tawa yang tak kalah datarnya.
“Lagi ngapain
di sini? Gak ada kelas?”
Iya, mataku
tak bisa lepas, rasanya untuk pertama kalinya Tuhan menjawab doaku tentang
Jauh. Dulu aku sempat bilang pada Tuhan, jika hati Jauh tidak bergetar untukku
maka tak perlu bawa Jauh mendekat padaku. Kali ini Tuhan membawa Jauh begitu
dekat, setelah sekian lama terjebak di dalam dunia digital, Tuhan membawa Jauh
ke depan mataku, hanya berjarak beberapa langkah untuk direngkuh dan untuk
tidak dilepaskan.
“Kelas gue
sebentar lagi, sambil nunggu kelas makanya gue di sini. Lo gimana?”
“Gue ada
kegiatan sama anak-anak ukm, bentar lagi juga pada ke sini”
“Oh...”
jawabku seadanya. Sayang waktu berjalan terlalu cepat saat moment seperti ini
hitungannya langka bagiku. Aku harus segera ke kampus. “Gue ke kampus duluan
deh”
“Yah gimana
sih lo, yang nemenin gue ngobrol siapa dong?”
“Nemenin lo
ngobrol sampe temen-temen lo dateng? Nanti setelah temen-temen lo dateng, lo
gak butuh gue lagi kan?”
Glek.
Aku tak bisa
bernafas. Detik di arloji pergelangan tanganku rasanya tak bergerak. Di luar
kendali. Jawabanku barusan terlalu berlebihan. Tolong Tuhan putar waktu!!
“Lo, gakpapa
kan?” tanya Jauh ragu. Aku bisa melihat raut wajah Jauh yang mendadak berubah
kebingungan.
“Eng....ga
gakpapa. Sorry sorry, tadi kebawa suasana” jawabku kikuk. Jangan sampai Jauh
bisa membaca wajahku yang rasanya ingin segera pergi ke pluto. “Lo jangan lupa
makan ya, jangan cuma minum kopi, lo bisa makan churros gue. Masih sisa banyak
tuh, lo harus makan ya” tambahku tanpa jeda.
“Belakangan
ini lo banyak peduli sama gue, kenapa Joy?” tanya Jauh serius.
Aku diam. Tak tahu
bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu. Jauh tak bisa menatapku yang berada
dekat di depannya. Mungkin, di mata Jauh aku masih terlampau jauh. Iya, Jauh
memang jauh. Aku hanya mematung tak bisa
berpikir apalagi menjawab. Lagu itu masih mengalun, tepat di bagian refrain.
Bila memang, ku yang harus mengerti, mengapa
cintamu tak dapat ku miliki, salahkah ku bila kau lah yang ada di hatiku?
“Duh gue harus buru-buru ke kampus, yah telah
kan nih gue, ah telat gue telat. Bye, Jauh! Jangan lupa makan!” tanpa menunggu
tanggapan dari Jauh aku segera berlari meninggalkan cafe. Setelah beberapa
meter menjauh dari cafe barulah nafasku kembali normal. Jauh, mengapa kau
begitu sulit?
Kali
ini setelah kelas, aku harus menemui Brieta. Hanya dia satu-satunya teman yang
tahu aku dan Jauh belakangan ini menjadi dekat. Kebetulan fakultas Brieta
bersebrangan dengan gedung fakultas Jauh. Sesekali Jauh juga sering menggunakan
laboratorium di fakultas Brieta.
“Ta!
Gue bingung. Jauh gak pernah paham. Dia biasa aja. Dia tuh aneh” keluhku.
“Jauh
bukan tipe cowok yang suka main-main”
“Lah,
emang ini gue keliatan main-main apa?” kesalku.
“Kode
lu kurang keras” datar Brieta lagi.
“Mungkin,
gue yang salah artiin baiknya Jauh. Mungkin memang Jauh tipe orang yang gak
bisa lihat orang di sekitarnya kesusahan”
“Lo
kenal Jauh belum lama. Mungkin lo cuma baru tau satu halaman tentang Jauh”
Aku
menenggelamkan kepalaku di atas kedua tanganku yang terlipat. Jika tau jatuh
hati dengan Jauh akan sesulit ini, aku lebih memilih tak pernah bertemu Jauh. Aku
cukup mengerti, jika Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang pasti atas suatu
alasan. Jauh adalah alasan tersulitku untuk bertahan tapi tetap aku
pertahankan.
Matahari
mulai menghilang. Langit hitam mulai menghiasi semesta. Jauh kembali hadir di
layar ponselku. Pertanyaannya sama, menanyakan kabar. Padahal baru siang ini
kami bertemu dan syukurnya aku terlihat baik-baik saja. Semoga saja Jauh tidak
berniat menanyakan pertanyaan terakhirnya yang aku alihkan. Pesan-pesan dari
Jauh aku balas seadanya, sebisa mungkin menarik kembali hatiku yang mulai
terjerembab di dalam dunia Jauh. Dengan mudah Jauh menebak bahwa kali itu aku
sedang tidak ingin diajak bicara. Padahal, satu pesan dari Jauh cukup membuat
sendu menjadi tawa. Berbicara dengan seseorang yang tak pernah tahu
ujung pembicaraannya akan seperti apa, bukankah selalu menyenangkan?
Jauh
seperti masih ingin memperpanjang obrolan tengah malam kami. Tapi saat itu juga
aku katakan pada Jauh aku harus pergi tidur. Tanpa menunggu jawaban lainnya
dari Jauh, ponsel itu kumatikan.
Paginya
aku kembali bertemu Brieta. Ia pasti tahu hal apa yang ingin aku bicarakan,
karna pasti tak akan jauh-jauh dari Jauh. Aku katakan pada Brieta jika tadi
malam Jauh kembali mampir dengan ketidakjelasan yang sama.
“Stop”
ujar Brieta saat bibirku masih bergerak-gerak menceritakan Jauh semalam. “Sekarang
gue tau jawaban atas semua cerita lo”
“Apa?”
jawabku tak bersemangat.
“Joy,
lo bahagia ga? Lo gak bisa buat perasaan lo stay sama orang yang gak bisa buat
lo bahagia” tegas Brieta. “Lo liat betapa clueless nya Jauh? Sebelum terlalu
jauh, just let him go. Because you deserve to be happy, lady”
“Im
happy, Ta” yakinku.
“Apa
definisi happy lo? Menunggu ketidakjelasan itu namanya happy? Kalau gitu, happy
lo sebelas duabelas sama bego” ketus Brieta. “Jauh terlalu gak peduli sama
seluruh pedulinya lo ke dia. Dia gak bisa ngerasain apa yang lo rasain. Dia merasa
biasa, waktu lo ngerasa luar biasa”
Brieta
tak bisa menyaring kata-katanya. Tapi benar.
“Gue
harus apa?”
“Lo
udah tanya ini sama Tuhan. Dan, ini saatnya lo ambil keputusan. But remember,
you deserve to be happy. Dont waste your tears. Jangan bawa nama dia yang gak
pernah bawa nama lo di dalam doanya”
Aku
diam sebentar. Aku merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Kalau dalam 5 menit
Jauh tak menghubungi, rasanya aku harus menuruti apa yang Brieta katakan. Tak
ada tanda-tanda pesan dari Jauh. Hatiku berpacu dengan beberapa doa dan
harapan, Tuhan tolong.
“Yes.
You need to let him go” putus Brieta. Ia mengambil ponsel yang aku genggam. Aku
tak pernah menghapus pesan dari Jauh, bahkan sejak awal mengenal Jauh pun aku
tak pernah menghapus pesannya. Tapi kali ini dengan yakinnya Brieta langsung
menghapus seluruh pesanku dan Jauh. “You deserve to be happy”
Brieta
menarik pundakku dan membiarkan kepalaku terbenam di dalam pelukannya. Maaf jika
aku perlu menangis, rasanya ini akan jadi caraku berpisah dari perasaanku pada
Jauh selama ini. Melepaskan memang bukan perkara mudah. Aku tahu ini benar. Apa
enaknya rindu sendirian? Ditambah, mengkhawatirkan seseorang yang entah
pikirannya pada siapa.
Brieta
benar. I deserve to be happy.
----
Aku
berdiri di depan pintu kedatangan internasional. Di genggamanku hanya ada
passport dan ponsel. Brieta langung memelukku dengan semangat. Aku sendiri
bahkan tak menyangka akan berdiri di sini dengan koper besar dan jaket tebal. Mungkin kali
ini Jauh belum menjadi alasanku untuk bahagia. Kali ini tugasku hanya membuat diriku sendiri bahagia. Dengan caraku
sendiri. Dengan atau tanpa Jauh yang terlampau menjauh. Perasaan itu sudah kutepikan, karna aku sudah berhasil mengerti kapan seharusnya berhenti.
Dan kini giliranku yang menjauh dan menghentikan nama itu di dalam doaku.
Australia, October 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar