Balada Sirkus
Melihatnya melompat dari satu
tali ke tali yang lain. Lebih tepatnya setiap hari dipertemukan dalam keadaan
yang demikian membuatku tak pernah ragu mengajaknya menari di udara dengan tali
yang dilengkapi dengan api. Ketika mata kami saling menatap, kenangan kami dulu
adalah bagian yang paling sulit dilupakan. Rasanya Thalia punya warna yang
berbeda.
Aku dan Thalia besar di panti
asuhan yang sama. Tumbuh bersama sebagai anak tanpa kedua orang tua. Thalia
dapat dikatakan anak panti asli, bak sinetron, bayi Thalia ditemukan di depan
pintu panti, memamerkan senyum cantiknya dan rambut pirangnya. Sedangkan aku
dengan sengaja dititipkan di panti asuhan oleh adik dari ayahku. Ibu meninggal
dan ayah nampaknya tak sanggup merawatku hingga dengan rela memindahkan
kehidupanku ke panti asuhan Cahaya. Dari sekian banyak panti asuhan, aku
bersyukur Tuhan mengirimku ke panti asuhan ini. Mempertemukanku dengan malaikat
tanpa sayap, bernama Nathalia.
Pada tahun 2008 kami genap
berusia 10 tahun. Ibu panti yang kerap disebut Oma –dikarnakan usianya yang tak
lagi muda– menggelar acara kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahun kami.
Untuk pertama kalinya kami merasakan bahagianya meniup lilin. Mengucapkan
harapan dan doa bersama. Aku melirik ke arah Thalia yang masih terpejam dengan
kedua tangannya yang memohon. Aku berharap bisa membaca harapannya.
Seluruh anak-anak di panti
asuhan mulai berkurang satu demi satu. Mereka diadopsi. Sedangkan aku dan
Thalia hanya memangku tangan menunggu orang tua yang sudi mengadopsi kami.
“Bagaimana kalau kita menua di
panti asuhan ini?” tanya Thalia dengan wajah murungnya.
“Biar saja. I’am happy growing
old with you, Thal” jawabku dan meraih tangan Thalia.
Kegelisahan Thalia berubah
menjadi suka. Sebuah yayasan sirkus berniat mengangkat kami. Nantinya kami akan
diajarkan beragam trik sulap, menari dan atraksi sulap lainnya. Awalnya hanya
aku yang berencana untuk dibawa bersama mereka, tapi aku tak bisa meninggalkan
Thalia sendiri. Untungnya ketika aku mempertemukan mereka dengan Thalia, mereka
langsung jatuh hati pada gadis berwajah sendu itu.
“Saya bisa melihat bakat dari
cara kamu menatap saya” ujar Pa Daniel dan langsung membawaku dan Thalia pergi.
Kami bersatu dengan anak-anak
yang lain. Ternyata Pa Daniel mengangkat anak dari banyak panti asuhan, kami
dipertemukan dengan mereka dan memulai latihan kami besoknya.
Setiap harinya kami diajarkan
beragam trik sulap dan atraksi sirkus. Aku dan Thalia disatukan dalam
pertunjukkan fire dance. Entah atas alasan apa Pa Daniel memintaku dan Thalia
menjadi pasangan dalam pagelaran fire dance, yang jelas aku merasa tenang
bersama Thalia.
Menginjak bulan ke 6 aku dan
Thalia sudah dipercaya utuk mengikuti karnaval sirkus ke 6 kota besar. Dalam
perjalanan itu pula aku mulai menunjukkan perasaanku pada Thalia. Aku ingin
Thalia merasakan perasaanku yang lebih dari sekedar teman. Ragu dan bingung
berkecamuk menjadi satu. Aku terlalu takut.
Kami sudah bersiap di belakang
panggung. Aku melihat Thalia yang gugup untuk pertunjukkan pertamanya.
Tangannya dingin, ia terus mengintip panggung dengan sorak sorai penonton dan
silaunya lampu sorot. Aku menghampirinya, menggenggam tangannya dan
merangkulnya.
“Kita udah latihan hampir
setengah tahun. Kita pasti bisa, Thal” tenangku dan dijawab dengan anggukan
kepalanya. “Thal, gimana kalau perasaanku selama ini lebih dari sekedar
sahabat? Boleh, Thal?” ketika aku menanyakan hal ini rasanya jantungku sudah
bosan berdegup. Dan kembali berdegup ketika Thalia memelukku dan kembali menganggukkan
kepalanya.
Aku menganggap Thalia adalah
tulang rusukku. Tidak salah bukan? Jika orang lain menganggap orang tua adalah
tulang rusuk mereka, maka aku yang hidup bersama Thalia sejak kecil bahkan bayi
rasanya wajar menganggap Thalia sebagai tulang rusukku. Aku semakin hidup
dengan tulang rusukku.
Kali ini MC sudah memanggil nama
kami. Dengan langkah kaki yang melaju dengan yakin, aku dan Thalia berlari ke
arena sirkus. Tepuk tangan penonton menyambut kedatangan kami. Satu demi satu
atraksi api kami lakukan, lengkap dengan gerakan meliuk-liuk seperti salto dan
lainnya. Bagian terakhir adalah Thalia harus melewati lingkaran api dan aku
akan menangkapnya. Aku bisa rasakan raut gugup tiba-tiba muncul di atas
permukaan wajah Thalia. Aku tak bisa membuatnya tenang. Aku sudah berada di
posisiku, menunggu Thalia untuk lompat.
Semuanya terasa hitam. Aku
membeku melihat Thalia nyaris dimakan sijago merah setelah kegagalan
atraksinya. Suara penonton semakin riuh dan kedua kakiku rasanya tak bisa
bergerak. Tim mulai menghampiri Thalia dan mencoba mematikan api yang berkobar.
Thalia langsung dibawa ke belakang panggung, disaat itulah nyawaku rasanya
kembali. Aku benar-benar panik ketika tak ada seorangpun yang mau membawa
Thalia ke rumah sakit. Aku melihat Thalia tersenyum, senyum malaikatnya yang
begitu indah. Aku tak bisa melihat Thalia dalam keadaan pesakitan seperti ini.
Nafas Thalia mulai melemah, aku bisa merasakannya. Aku duduk di sampingnya,
menggenggam tangannya dan terus memunajatkan doa. Mataku terpejam mencari
ketenangan. Kedua kelopak mataku terbuka dan kini berganti dengan Thalia yang
menutup kedua matanya. Tanpa nafas.
***
Aku bersimpuh di samping
gundukan tanah dengan nisan bertulisan Nathalia. Tulang rusuk adalah inti
kehidupan. Tanpanya, kau bisa mati. Dan kini aku seperti hidup dalam kematian.
Sendirian dan kehilangan. Aku hanya terlambat, terlambat menyatakan ketika hati
dibalut rasa ragu. Thalia, maaf. Mungkin aku hanya terlampau telat. Tak mengapa
jika jarak memisahkan kita, tapi ketika tuhan sudah turun tangan untuk mengatur
cara kita berpisah, lalu kita bisa apa?Kau
tahu Thal? Aku mencintaimu sejak kau dilahirkan ke dunia dan tak pernah
main-main. Tuhan mempertemukan kita atas alasan juga memisahkan kita untuk
sebuah alasan. Beristirahatlah dengan tenang, tulang rusukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar