Kamis, 28 Juli 2016

Sebuah dongeng sebelum tidur; Balada Sirkus

Balada Sirkus

      Melihatnya melompat dari satu tali ke tali yang lain. Lebih tepatnya setiap hari dipertemukan dalam keadaan yang demikian membuatku tak pernah ragu mengajaknya menari di udara dengan tali yang dilengkapi dengan api. Ketika mata kami saling menatap, kenangan kami dulu adalah bagian yang paling sulit dilupakan. Rasanya Thalia punya warna yang berbeda.
          Aku dan Thalia besar di panti asuhan yang sama. Tumbuh bersama sebagai anak tanpa kedua orang tua. Thalia dapat dikatakan anak panti asli, bak sinetron, bayi Thalia ditemukan di depan pintu panti, memamerkan senyum cantiknya dan rambut pirangnya. Sedangkan aku dengan sengaja dititipkan di panti asuhan oleh adik dari ayahku. Ibu meninggal dan ayah nampaknya tak sanggup merawatku hingga dengan rela memindahkan kehidupanku ke panti asuhan Cahaya. Dari sekian banyak panti asuhan, aku bersyukur Tuhan mengirimku ke panti asuhan ini. Mempertemukanku dengan malaikat tanpa sayap, bernama Nathalia.
       Pada tahun 2008 kami genap berusia 10 tahun. Ibu panti yang kerap disebut Oma –dikarnakan usianya yang tak lagi muda– menggelar acara kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahun kami. Untuk pertama kalinya kami merasakan bahagianya meniup lilin. Mengucapkan harapan dan doa bersama. Aku melirik ke arah Thalia yang masih terpejam dengan kedua tangannya yang memohon. Aku berharap bisa membaca harapannya.
          Seluruh anak-anak di panti asuhan mulai berkurang satu demi satu. Mereka diadopsi. Sedangkan aku dan Thalia hanya memangku tangan menunggu orang tua yang sudi mengadopsi kami.
     “Bagaimana kalau kita menua di panti asuhan ini?” tanya Thalia dengan wajah murungnya.
          “Biar saja. I’am happy growing old with you, Thal” jawabku dan meraih tangan Thalia.
       Kegelisahan Thalia berubah menjadi suka. Sebuah yayasan sirkus berniat mengangkat kami. Nantinya kami akan diajarkan beragam trik sulap, menari dan atraksi sulap lainnya. Awalnya hanya aku yang berencana untuk dibawa bersama mereka, tapi aku tak bisa meninggalkan Thalia sendiri. Untungnya ketika aku mempertemukan mereka dengan Thalia, mereka langsung jatuh hati pada gadis berwajah sendu itu.
          “Saya bisa melihat bakat dari cara kamu menatap saya” ujar Pa Daniel dan langsung membawaku dan Thalia pergi.
        Kami bersatu dengan anak-anak yang lain. Ternyata Pa Daniel mengangkat anak dari banyak panti asuhan, kami dipertemukan dengan mereka dan memulai latihan kami besoknya.
          Setiap harinya kami diajarkan beragam trik sulap dan atraksi sirkus. Aku dan Thalia disatukan dalam pertunjukkan fire dance. Entah atas alasan apa Pa Daniel memintaku dan Thalia menjadi pasangan dalam pagelaran fire dance, yang jelas aku merasa tenang bersama Thalia.
          Menginjak bulan ke 6 aku dan Thalia sudah dipercaya utuk mengikuti karnaval sirkus ke 6 kota besar. Dalam perjalanan itu pula aku mulai menunjukkan perasaanku pada Thalia. Aku ingin Thalia merasakan perasaanku yang lebih dari sekedar teman. Ragu dan bingung berkecamuk menjadi satu. Aku terlalu takut.
         Kami sudah bersiap di belakang panggung. Aku melihat Thalia yang gugup untuk pertunjukkan pertamanya. Tangannya dingin, ia terus mengintip panggung dengan sorak sorai penonton dan silaunya lampu sorot. Aku menghampirinya, menggenggam tangannya dan merangkulnya.
           “Kita udah latihan hampir setengah tahun. Kita pasti bisa, Thal” tenangku dan dijawab dengan anggukan kepalanya. “Thal, gimana kalau perasaanku selama ini lebih dari sekedar sahabat? Boleh, Thal?” ketika aku menanyakan hal ini rasanya jantungku sudah bosan berdegup. Dan kembali berdegup ketika Thalia memelukku dan kembali menganggukkan kepalanya.
           Aku menganggap Thalia adalah tulang rusukku. Tidak salah bukan? Jika orang lain menganggap orang tua adalah tulang rusuk mereka, maka aku yang hidup bersama Thalia sejak kecil bahkan bayi rasanya wajar menganggap Thalia sebagai tulang rusukku. Aku semakin hidup dengan tulang rusukku.
            Kali ini MC sudah memanggil nama kami. Dengan langkah kaki yang melaju dengan yakin, aku dan Thalia berlari ke arena sirkus. Tepuk tangan penonton menyambut kedatangan kami. Satu demi satu atraksi api kami lakukan, lengkap dengan gerakan meliuk-liuk seperti salto dan lainnya. Bagian terakhir adalah Thalia harus melewati lingkaran api dan aku akan menangkapnya. Aku bisa rasakan raut gugup tiba-tiba muncul di atas permukaan wajah Thalia. Aku tak bisa membuatnya tenang. Aku sudah berada di posisiku, menunggu Thalia untuk lompat.
            Semuanya terasa hitam. Aku membeku melihat Thalia nyaris dimakan sijago merah setelah kegagalan atraksinya. Suara penonton semakin riuh dan kedua kakiku rasanya tak bisa bergerak. Tim mulai menghampiri Thalia dan mencoba mematikan api yang berkobar. Thalia langsung dibawa ke belakang panggung, disaat itulah nyawaku rasanya kembali. Aku benar-benar panik ketika tak ada seorangpun yang mau membawa Thalia ke rumah sakit. Aku melihat Thalia tersenyum, senyum malaikatnya yang begitu indah. Aku tak bisa melihat Thalia dalam keadaan pesakitan seperti ini. Nafas Thalia mulai melemah, aku bisa merasakannya. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dan terus memunajatkan doa. Mataku terpejam mencari ketenangan. Kedua kelopak mataku terbuka dan kini berganti dengan Thalia yang menutup kedua matanya. Tanpa nafas.
                ***
           Aku bersimpuh di samping gundukan tanah dengan nisan bertulisan Nathalia. Tulang rusuk adalah inti kehidupan. Tanpanya, kau bisa mati. Dan kini aku seperti hidup dalam kematian. Sendirian dan kehilangan. Aku hanya terlambat, terlambat menyatakan ketika hati dibalut rasa ragu. Thalia, maaf. Mungkin aku hanya terlampau telat. Tak mengapa jika jarak memisahkan kita, tapi ketika tuhan sudah turun tangan untuk mengatur cara kita berpisah, lalu kita bisa apa?Kau tahu Thal? Aku mencintaimu sejak kau dilahirkan ke dunia dan tak pernah main-main. Tuhan mempertemukan kita atas alasan juga memisahkan kita untuk sebuah alasan. Beristirahatlah dengan tenang, tulang rusukku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar