2 Hari. Sesingkat itu tapi sedalam itu.
Gue rasa, gender memang benar-benar dikonstruksikan oleh sosial. Lalu hadir patriarki yang memang eksis lebih dulu. Ada juga penggambaran wanita yang memang lebih lemah, karna seringkali sudah pakai tulus tapi harus menghadapi situasi 'Puber ke-2'. A bitter story. Naudzubillah.
Belakangan ini, bahkan sering. Gue baca dan melihat konsep menikah sebagai jalan keluar dari segala hal.
"Mending nikah deh gue"
"Yaudah deh nikah aja"
Menikah diyakini bisa menyelesaikan semua masalah, bagi beberapa orang, mungkin bisa saja. Tapi, tidak bisa diaminkan oleh semua elemen.
Karena?
Menikah yang dianggap bisa menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru.
Gue miris, kalau liat anak yang melakukan kesalahan justru orang tuanya diam. Ada juga yang menyalahkan orang lain, jadi anaknya akan selalu benar. Tidak peduli lingkungan, seakan lingkunganlah yang harus menerima si anak. Padahal sebaliknya. Bagi gue, orang tua yang tercipta dari proses menikah, hadir untuk membentuk pola kembang anak belajar dan memahami adaptasi. Tugasnya tidak selesai begitu saja. Lalu harus terus belajar mengikuti perkembangan, situasi sosial, bahkan epic-nya teknologi. Bukan menunjukkan debat di depan anak.
"Halah, lo sendiri mau kan nikah?"
YAIYALAH JAENAB. Siapa yang gak mau sih heu. Tapi menikah bukan perkara cepat, tapi perkara tepat. Prospek jangka panjangnya seperti apa, dipikirkan seperti apa mengatasi dan mencegah masalah baru nantinya, bukan gimana entar atau liat aja nanti.
Kebetulan lagi hari kartini, gue rasa ini momentnya wanita buat women empowered women. Kalau ada yang memutuskan untuk fokus di karier nya berhenti nyinyir "awas jadi perawan tua". Atau mungkin memutuskan untuk cepat menikah lalu muncul statement "udah dp kali". Atau menilai minus women yang mengambil keputusan untuk tinggal di rumah dengan "bau bawang, dasteran mulu lu".
Perempuan kodratnya itu Cerdas.
Bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu. Lulus S2 urus anak dengan IQ EQ yang baik. Resign kerja dan keajaiban menyertai kehidupannya. Pemikiran dan keputusan hebat yang datangnya dari Perempuan. Kalau memang kami terlihat lemah, memang itu kodrat lain kami. Hati kami bekerja lebih keras dan kami memang perlu diperlakukan dengan lemah lembut. Tapi tidak berarti kami bisa dilemahkan. We have voice. We speak up for ourselves.
Oh, dan gue juga tidak berdiri di atas istilah keseteraan gender yang kemudian diartikan wanita superior dari laki-laki. Tidak sedangkal itu.
Ingat, kodrat kami cerdas. Jadi hal pendek itu tidak kami pikirkan.
Moment hebat yang gue lewati benar-benar jadi cambukan, bahwa menjadi perempuan adalah hal yang istimewa. Bahwa menjadi perempuan, bukan sekedar menerima.
Pulang membawa pesan tentang 'Kodrat Wanita' bahwa kodrat wanita itu Cerdas.
Selamat Hari Kartini 2019
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar